photo lineviral_1.png

Tiga Tingkatan Salik Dalam Perjalanan Bertasawuf Menuju Yang Kuasa - Holik Nesia

Tiga Tingkatan Salik Dalam Perjalanan Bertasawuf Menuju Tuhan

 RUJUKAN DALAM MEMBINCANGKAN PERJALANAN RUHANI  Tiga Tingkatan Salik dalam Perjalanan Bertasawuf Menuju Tuhan

RUJUKAN DALAM MEMBINCANGKAN PERJALANAN RUHANI ( Part I )
Ditulis oleh: DR. Zubair Ahmad , MA

Kajian Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani
Bintaro , 11 Januari 2018

Sebelum membincangkan hal berkaitan dengan perjalanan spiritual , kita perlu mengenal tingkatan atau kapasitas seseorang yang menceritakan atau mengekspresikan proses-proses dalam menuju kepada Allah. Kapasitas ini menjadi dasar bagi kita untuk menimbulkan pernyataan atau ekspresinya sebagai referensi atau dasar pemahaman. Mengapa demikian? Karena , kasus spiritual ini menyangkut pengalaman rasa , bukan menurut dalil atau nash yang makna dan kandungan hukumnya sanggup diperdebatkan. Hal ini penting agar tidak terjebak pada penilaian dan sikap mempertentangkan di antara ungkapan para salik atau sufi. Sebenarnya , hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman rasa dalam menuju kepada Allah tidak patut untuk didiskusikan , terutama jikalau dilakukan dengan melibatkan pihak atau  tarekat yang lain , kecuali hanya kepada Mursyid sendiri. Berikut tingkatan orang bertasawuf:

  1. Salik yang baru sampai pada tahap merasa dekat dengan Allah. Orang mirip ini mirip orang buta yang mengandalkan indra rasanya sehingga masih meraba-raba. Jika yang dirabanya itu terasa lingkaran , maka yang disangkanya itu yaitu bola. Orang yang mirip ini tidak sanggup ditanya atau dijadikan referensi dalam kaitannya dengan kajian perihal kasus ketuhanan. Sebab , orang ini masih dalam proses. Apa yang dikatakannya lebih banyak menurut kebijaksanaan dari hasil bacaannya.
  2. Salik yang sedang berada pada zona antara perbatasan antara hati dan nurani dimana ia dilanda mabuk dalam luapan rasanya. Tahap inilah yang sangat berbahaya dan proses ini pun yang tidak sanggup ditebak berapa lama waktunya , sanggup sebentar , sanggup lama , bahkan ada yang sampai tua atau meninggal. Dia masih dalam proses meluap-luap rasanya. Di posisi ini tidak sekadar merasa dekat , tetapi di sana bercampur rasa rindu atau cinta , tetapi belum sampai tahap menyaksikan.  Kalau orang mirip ditanya pendapatnya perihal kasus ketuhanan maka dia akan menjawab bahwa yang kuasa dan dirinya itu yaitu satu. Ketika dikatakan padanya bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda , maka pasti dia membantahnya lantaran yaitu menurut pengalamannya bahwa Tuhan dan dirinya yaitu satu , tidak ada bedanya. Dia akan menyampaikan , “Dia yaitu saya , dan saya yaitu Dia.” Orang yang berada pada tahap mirip ini pun tidak sanggup kita bantah atau lawan. Keadaan mirip ini banyak terjadi pada beberapa orang yang disebut mursyid. Banyak mursyid zaman kini , tahapannya baru sampai di sini. Kelemahan orang yang berada pada tahapan ini , jikalau tidak dibimbing dengan benar maka apa yang dikatakannya itulah yang dianggapnya benar (tuhan = hamba) , tidak sanggup ditaklukkan. Jika seorang mursyid baru pada tahap ini , maka bahayanya yaitu semua yang dikatakannya akan ditelan bulat-bulat oleh muridnya. Tahapan ini dalam sejarah pernah dialami oleh al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar. Makanya , Syekh Siti Jenar tidak pernah masuk dalam lingkup Wali Songo. Kita jangan salah paham dan menganggap Sunan Kalijaga atau para Wali Songo lainnya lebih rendah maqamnya daripada Syekh Siti Jenar! Padahal , yang benar yaitu sebaliknya.  Mana yang lebih tinggi derajatnya antara al-Hallaj atau Syekh Abdul Qadil Jaelani? Tentu , yang lebih tinggi yaitu Syekh Abdul Qadil Jaelani meskipun al-Hallaj dalam kisanya memiliki ungkapan yang menggambarkan dirinya telah menyatu dengan Allah , bahkan menyebut dirinya sebagai al-Haqq.
  3. Tingkatan seseorang yang telah sampai pada tahap penyaksian.  Tanda seseorang yang telah menyaksikan Allah , yaitu sanggup mengurai perbedaan antara benda dan bayangannya , sanggup membedakan mana “AKU”nya yang kuasa dan mana “aku”nya hamba.  Dia akan kembali kepada makna kalimat syahadat , “Aku menyaksikan tiada yang kuasa selain Allah , dan saya menyaksikan Muhammad yaitu utusan Allah”. Dia tidak akan terlepas dari syariat dan aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Kelemahan banyak pihak yaitu menyangka bahwa orang yang merasa dirinya menyatu dengan Tuhan atau sebagai al-Hak lebih tinggi maqamnya dibandingkan dengan orang yang sanggup membedakan mana Tuhan dan mana dirinya sebagai hamba. Atau , menganggap orang yang meninggalkan syariat lantaran yaitu merasa sudah sangat dekat dengan Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang yang tetap menjalankan syariat agama. Ini yaitu anggapan yang keliru.

Bersambung ke:

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: